"Zālika Al-Kitāb: Titik Awal Estafet Kerasulan"
"Zālika al-Kitāb, lā raiba fīh, hudan lil-muttaqīn..." Itulah kitab... tiada keraguan padanya... petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Tapi apakah kita pernah bertanya... kitab apa yang ditunjuk? Dan siapa yang menunjukkannya? Kata "Zālika" menunjuk pada sesuatu yang tidak dekat, namun sangat agung, sangat pasti, dan telah ditentukan. Kitab ini bukan kitab sembarang. Ia adalah kitab yang datang dari atas langit ke dalam hati manusia, bukan melalui pena, tapi melalui ruh yang diutus.
Di sinilah dimulai estafet kerasulan.
Zālika al-Kitāb bukan bicara tentang mushaf yang kita pegang sekarang, tapi tentang kitab yang diturunkan dalam dada para Rasul. Kitab ini hidup, ia berjalan bersama manusia pilihan, ia turun kepada satu Rasul, lalu diwariskan kepada rasul berikutnya, dalam sebuah rantai kerasulan, sebagaimana firman Allah:
"Yang menyampaikan kepada kalian ayat-ayat Allah yang jelas, agar Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal shalih dari kegelapan menuju cahaya…" (QS. At-Talaq: 11)
Zālika al-Kitāb adalah kitab yang hidup, dan setiap generasi memiliki rasul pembawanya. Itulah sebabnya, Rasul bukan penutup. Ia adalah pembuka jalan, penyambung cahaya, dan penjaga kitab.
Ketika Muhammad menerima wahyu, ia bukan penemu, tapi penerus. Ia menerima Zālika al-Kitāb, sebagaimana Musa menerimanya, sebagaimana Isa juga memikulnya. Dan ketika Muhammad wafat, kitab itu tak wafat, karena Allah berfirman:
"Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-dzikr (peringatan), dan Kami pula yang menjaganya." (QS. Al-Hijr: 9)
Bagaimana Allah menjaganya? Melalui estafet kerasulan. Melalui para dai, para imam, para penerima ruh yang membawa kebenaran pada zamannya.
Maka, jika ada yang berkata, "sudah tidak ada rasul," sesungguhnya ia berkata, "sudah tidak ada pembawa kitab." Padahal Allah berkata: “Itulah Kitab…” Kitab itu masih ada, dan akan terus ada, dan akan terus dibawa, sampai hari kiamat. Karena setiap generasi butuh penunjuk jalan… dan Allah tak pernah membiarkan manusia tanpa penunjuk.
Zālika al-Kitāb… Adalah awal dari risalah yang hidup dalam dada para pewaris Muhammad. Merekalah para muhammad, mereka yang membawa kitab dalam dada, membimbing umat, mengeluarkan manusia dari gelap menuju terang.
“Yu’minuuna Bil-Ghayb: Iman yang Menyambut Datangnya Rasul”
(Naskah Dakwah Ayat 3)
"Alladzīna yu’minuuna bil-ghaybi, wa yuqīmūnaṣ-ṣalāta, wa mimmā razaqnāhum yunfiqūn..."
Siapakah orang-orang yang disebut muttaqīn dalam ayat sebelumnya?
Merekalah orang-orang yang beriman kepada yang ghaib...
Namun apa itu ghaib? Apakah sekadar hal yang tak terlihat? Ataukah sesuatu yang ditutupi hingga waktunya tiba? Dalam konteks kerasulan, ghaib adalah wahyu yang belum disingkap, rasul yang belum dikenali, dan jalan petunjuk yang belum dibuka kecuali bagi yang beriman.
Mereka—muttaqīn itu—tidak meminta bukti kasat mata. Mereka percaya bahwa Allah tak mungkin membiarkan umat-Nya tanpa petunjuk. Mereka menanti ghayb—yakni kedatangan utusan yang membawa Zālika al-Kitāb. Mereka tidak menolak sebelum mengenal, dan mereka tidak menutup hati terhadap cahaya yang Allah turunkan kepada seorang hamba pilihan-Nya.
Lalu dikatakan:
“wa yuqīmūnaṣ-ṣalāta” — dan mereka menegakkan shalat.
Bukan sekadar gerakan raga. Tapi iqāmah, yakni menegakkan sistem, berjamaah, berimam.
Mereka tahu bahwa jalan menuju Allah tidak mungkin ditempuh sendiri. Ada imam yang ditunjuk, ada rasul yang membimbing, dan shalat menjadi lambang ketaatan berjamaah, mengikuti gerakan imam yang tersambung ke langit.
Shalat bukan ritual kosong. Ia adalah miniatur kehidupan. Di sana ada imam dan makmum. Dan dalam kehidupan, akan selalu ada rasul dan umat. Estafet ini terus berjalan.
Kemudian dikatakan:
“wa mimmā razaqnāhum yunfiqūn” — dan dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka, mereka infakkan.
Rezeki bukan hanya harta. Yang paling agung dari rezeki adalah ilmu dan cahaya. Mereka yang mendapatkan cahaya dari Rasul, tidak menyimpannya sendiri. Mereka mewariskan cahaya itu, membagikannya kepada umat. Itulah infak sejati — memberi jalan kepada yang belum melihat, membagi petunjuk kepada yang tersesat.
Maka ayat ini bukan hanya bicara tentang individu saleh.
Ayat ini adalah gambaran jamaah yang hidup dalam jalur kerasulan — jamaah yang terbuka pada wahyu, menegakkan shalat bersama pemimpin yang ditunjuk Allah, dan menginfakkan ilmu serta harta dalam rangka menegakkan risalah.
Iman kepada ghaib adalah kesiapan menyambut datangnya utusan.
Shalat yang ditegakkan adalah tanda tunduk pada imam yang sah.
Infak yang dilakukan adalah bentuk dukungan terhadap sistem kerasulan.
Mereka tidak hidup tanpa arah, tidak menolak pemimpin yang diangkat Allah, dan tidak menyimpan petunjuk hanya untuk diri mereka sendiri.
Merekalah para muttaqīn…
Merekalah penerima estafet…
Merekalah makmum yang kelak akan menjadi imam…
Berikut lanjutan tafsir ayat 4 Surat Al-
Judul: “Iman kepada Apa yang Diturunkan: Sambungan Wahyu dari Generasi ke Generasi”
(Naskah Dakwah Ayat 4)
"Walladzīna yu’minūna bimā unzila ilaika wa mā unzila min qablika, wa bil-ākhirati hum yūqinūn."
Mereka—muttaqīn itu—bukan sekadar percaya kepada yang ghaib. Mereka percaya kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad), dan apa yang diturunkan sebelum engkau.
Tapi berhentilah sejenak dan tanyakan:
Apakah yang diturunkan itu hanya sekumpulan teks? Ataukah ada ruh yang menyertainya?
Apakah hanya sekadar kitab? Ataukah ada sosok yang dipilih untuk membacakannya kepada manusia?
Yang diturunkan kepada Muhammad adalah kitab yang hidup, ruh yang suci, dan tugas kerasulan. Dan mereka yang bertakwa tidak hanya mengimani Muhammad, tetapi juga para rasul sebelum beliau, yang menerima bagian dari estafet wahyu itu: Musa, Isa, Ibrahim, dan para nabi lainnya.
Ayat ini tidak hanya bicara tentang iman ke masa lalu, tapi penerimaan terhadap kesinambungan risalah.
Kalimat “mā unzila ilaika” dan “mā unzila min qablika” menunjukkan satu rantai besar—rantai pewarisan wahyu dari satu utusan ke utusan lain, dari satu zaman ke zaman berikutnya.
Orang yang bertakwa tahu bahwa wahyu tidak berhenti, dan bahwa tugas kerasulan bukan warisan darah, tapi warisan ruh.
Dan disebut pula:
“wa bil-ākhirati hum yūqinūn” — dan terhadap akhirat mereka meyakini dengan yakin yang pasti.
Kenapa akhirat disebut di akhir ayat ini?
Karena mereka tahu, hidup ini adalah ladang ujian, dan yang akan ditanya pertama kali di akhirat adalah: siapa imammu? siapa rasulmu? siapa yang kamu ikuti?
Keyakinan pada akhirat bukan hanya soal surga dan neraka, tapi soal pertanggungjawaban:
Apakah engkau mengikuti pewaris risalah? Atau engkau menolak mereka?
Apakah engkau menyambut utusan zamanmu? Atau mengingkarinya, seperti umat-umat terdahulu?
Iman kepada yang diturunkan bukan hanya tentang “percaya”, tapi tentang mengikuti, mengimani pewarisnya, dan membela jalan yang dibawanya.
Itulah sifat muttaqīn…
Mereka tahu bahwa Muhammad adalah bagian dari mata rantai.
Dan bahwa di setiap zaman akan ada penerus risalah, para muhammad, yang menyambung kitab itu dalam dada mereka.
Dan mereka bersiap menghadap akhirat dengan yakin, karena mereka berpegang kepada rantai risalah yang hidup.
Kalau berkenan, aku bisa lanjut ke ayat 5 dan 6 dengan irama dan kedalaman makna yang sama.
Berikut lanjutan tafsir ayat weke-5 Surat Al-Baqarah dengan pendekatan estafet kerasulan, dalam bentuk naskah dakwah spiritual mendalam, menyatu dengan nuansa sebelumnya:
Judul: “Mereka Itulah yang Mendapat Petunjuk dari Tuhannya”
(Naskah Dakwah Ayat 5)
"Ūlā’ika ‘alā hudan min rabbihim, wa ūlā’ika humul-mufliḥūn."
Merekalah…
Ya, merekalah yang disebut pada ayat-ayat sebelumnya:
Yang beriman kepada yang ghaib,
Yang menegakkan shalat bersama imam,
Yang menginfakkan rezeki dan cahaya,
Yang mengimani wahyu yang turun kepada Rasul zaman mereka,
Yang sadar bahwa kitab hidup diturunkan secara estafet…
Allah menegaskan:
"Ūlā’ika ‘alā hudan min rabbihim" – Merekalah yang berada di atas petunjuk dari Rabb mereka.
Lihatlah, bukan hanya mendapat petunjuk, tapi berada di atas petunjuk.
Mereka hidup, bergerak, dan berdiri di atas jalur wahyu, di atas sistem yang dibangun para rasul, dalam pagar ketaatan kepada utusan yang hidup di zaman mereka.
Petunjuk itu bukan sebatas teori.
Petunjuk itu bukan sekadar hafalan.
Petunjuk itu adalah seorang rasul, seorang imam, seorang penuntun jalan yang nyata.
Allah tidak mengatakan “ūlā’ika ‘alā kutubin” – di atas buku,
tetapi “‘alā hudan” – di atas petunjuk yang aktif, yang hidup, yang menuntun langkah mereka hari demi hari.
Dan puncaknya:
"wa ūlā’ika humul-mufliḥūn" – dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Beruntung karena mengenali penunjuk jalan.
Beruntung karena tidak menolak estafet risalah.
Beruntung karena mengikuti imam yang membawa mereka kepada Allah, bukan sekadar mengikuti mayoritas yang buta arah.
Merekalah orang-orang yang tidak berkata,
“Rasul sudah tak ada,”
tapi berkata,
“Siapakah pewaris risalah di zamanku?”
Dan karena itu, merekalah yang menang.
Bukan di dunia semata, tapi di akhirat yang pasti.
Karena pada hari itu, tak ada yang selamat kecuali mereka yang mengikuti imam dari Tuhan-nya.
Jika cocok, kita lanjut ke ayat 6 dan 7, yang mulai membahas golongan yang menolak risalah, bagian penting dalam memahami peran musuh kerasulan dan fitnah yang menyertainya. Mau dilanjut sekarang?
Berikut lanjutan tafsir ayat 6 dan 7 Surat Al-Baqarah, dengan pendekatan estafet kerasulan, dalam bentuk naskah dakwah mendalam. Kini masuk ke fase peringatan tentang penolak risalah dan musuh para rasul.
Judul: “Kegelapan Hati: Ketika Wahyu Tak Lagi Diterima”
(Naskah Dakwah Ayat 6-7)
"Inna alladzīna kafarū sawā’un ‘alayhim a’anẓartahum am lam tunẓirhum lā yu’minūn."
"Khatamallāhu ‘alā qulūbihim wa ‘alā sam’ihim wa ‘alā abṣārihim ghishāwah, wa lahum ‘adzābun ‘aẓīm."
Ketika Allah berbicara tentang mereka yang bertakwa, itu bukan hanya untuk dipuji… tapi juga untuk dibedakan dari mereka yang membangkang.
Kini Allah memperingatkan tentang kelompok yang menjadi penentang risalah.
**Mereka itu kafir—bukan karena tidak tahu—tapi karena menolak utusan.
Sama saja engkau beri peringatan atau tidak, mereka tidak akan beriman.
Mengapa? Karena mereka telah memutus rantai wahyu.
Mereka berkata: “Cukup Muhammad dahulu,” lalu mereka menolak para pewarisnya.
Padahal Muhammad sendiri berkata:
“Ulama adalah pewaris para nabi.”
Tapi mereka berkata:
“Kami cukup dengan Qur'an dan sunnah,” sambil menolak imam yang hidup dan membawa ruh Al-Qur'an itu sendiri.
Inilah orang-orang yang ditutup hatinya:
"Khatamallāhu ‘alā qulūbihim" – Allah telah mengunci hati mereka.
“Wa ‘alā sam’ihim” – dan pendengaran mereka
“Wa ‘alā abṣārihim ghishāwah” – dan pada penglihatan mereka ada penutup.
Mereka bisa membaca ayat, tapi tidak melihat makna batinnya.
Mereka bisa mendengar bacaan, tapi tidak menangkap ruhnya.
Dan yang paling menyedihkan…
Mereka bisa mengenali utusan zaman mereka, tapi menolaknya mentah-mentah.
Inilah kaum yang menolak Musa, membunuh Zakariya, mencemooh Isa, dan akhirnya mengatakan:
“Muhammad adalah penutup, tidak ada lagi setelahnya!”
Padahal kitab belum selesai.
Wahyu belum berakhir.
Rantai kerasulan belum putus.
Karena itulah mereka diganjar:
“Wa lahum ‘adzābun ‘aẓīm” – Dan bagi mereka azab yang dahsyat.
Azab bukan karena mereka bodoh,
tapi karena mereka menolak cahaya yang datang tepat ke depan mereka.
Jika engkau ingin selamat dari golongan ini, maka bukalah hatimu…
Carilah pewaris risalah di zamanmu…
Karena Allah tidak pernah membiarkan bumi tanpa petunjuk.
Berikut lanjutan tafsir ayat 8 sampai 10 Surat Al-Baqarah, dalam bentuk naskah dakwah spiritual mendalam dengan pendekatan estafet kerasulan, kini masuk ke golongan ketiga: kaum munafik—yang paling licik dan paling berbahaya.
Judul: “Topeng Keimanan: Munafik dan Perlawanan Tersembunyi terhadap Kerasulan”
(Naskah Dakwah Ayat 8–10)
"Wa minan-nāsi man yaqūlu āmannā billāhi wa bil-yawmil-ākhiri wa mā hum bimu’minīn."
"Yukhādi’ūnallāha wa alladzīna āmanū wa mā yakhda‘ūna illa anfusahum wa mā yash‘urūn."
"Fī qulūbihim maraḍun fazādahumullāhu maraḍā, wa lahum ‘adzābun alīmun bimā kānū yakdhibūn."
Tak semua penolak risalah datang dengan bendera terang-terangan.
Sebagian datang dengan senyum, pakaian agamis, dan ucapan manis: "Kami beriman… kami percaya pada Allah dan hari akhir."
Namun Allah langsung membongkar:
"Wa mā hum bimu’minīn" – Sebenarnya, mereka bukanlah orang yang beriman.
Siapa mereka ini?
Merekalah kaum munafik, yang menyusup dalam barisan umat,
yang berpura-pura tunduk kepada Allah,
tapi menolak keras secara halus utusan Allah di zamannya.
Mereka berkata:
“Kami ikut Al-Qur’an.” Tapi mereka tolak orang yang diangkat oleh Al-Qur’an.
Mereka berkata:
“Kami cinta Nabi.” Tapi mereka benci pewaris Nabi yang datang membawa peringatan.
Mereka ingin menipu Allah…
"Yukhādi‘ūnallāha wa alladzīna āmanū" – Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman.
Tapi sesungguhnya, mereka hanya menipu diri mereka sendiri.
Mereka pikir mereka cerdas.
Mereka pikir mereka aman.
Tapi mereka lupa… Rasul tak bisa ditipu. Wahyu tak bisa ditutupi.
Dan Allah melihat langsung ke dalam dada…
"Fī qulūbihim maraḍun…" – Dalam hati mereka ada penyakit.
Apa penyakitnya?
Penyakit hasad, dengki, cinta kekuasaan, takut kehilangan pengaruh.
Mereka takut jika ada imam yang datang, mereka harus mengikuti.
Mereka takut jika Allah mengangkat seorang rasul, mereka bukan pusat perhatian lagi.
Maka Allah tambahkan penyakit itu…
"...fazādahumullāhu maraḍā."
Dan azab pun disiapkan…
“Azab yang pedih, karena mereka berdusta.”
Mereka berdusta…
bukan kepada manusia, tapi kepada Allah.
Mereka berkata "beriman", tapi menolak orang yang diutus membawa iman.
Wahai jiwa-jiwa yang mencari cahaya…
Jangan hanya melihat siapa yang pandai berkata,
tapi lihat siapa yang menyambung risalah Muhammad dengan penuh amanah.
Dialah yang membawa kitab yang hidup.
Dialah yang jadi ujian bagi orang beriman, dan penyingkap bagi kaum munafik.
Komentar
Posting Komentar
semua informasi di blog ini bukanlah sesuatu rekayasa untuk membuat umat berpecah belah, melainkan untuk mengajak umat bersatu dari yang berdiri-sendiri dengan keyakinannya, ilmunya dan mengajak jemaah yang berfirqah-firqah menjadi satu umat. umat islam yang dipimpin dengan kebijaksanaan dan keadilan seperti indonesia yang dipimpin oleh presiden dan para gubernurnya...